LiteraSIP

29 Januari 2023

Di Sebuah Negeri yang Hampir Mati

Oleh Akhmad Idris*

***

Aku mengunjungi negeri yang dihuni oleh ratusan patung yang tampak indah dengan setelan jas hitam, dasi merah, kemeja putih, celana hitam, dan sebuah jam tangan berlapis emas. Ratusan patung yang lain tampak berbeda dengan sepatu hak tinggi, bibir merah, dan tas dari luar negeri yang harganya senilai dengan 2.857 mangkuk mi ayam. Sungguh pemandangan yang indah dan sempurna, namun sekali lagi mereka hanya sekumpulan patung.

Wujud patung yang sempurna itu hanya bertahan dari pagi hingga sore hari. Pada waktu malam mereka berubah menjadi jenis hewan yang berbeda-beda. Aku ketakutan menyaksikan patung-patung berjas hitam berubah menjadi sekelompok kucing dan segerombolan kera. Belum lagi patung-patung bergincu merah yang juga berevolusi menjadi hewan-hewan kecil yang lazim dikenal dengan nama walang sangit. Aku bergidik ngeri, ada apa dengan negeri ini?

***

Sekelompok kucing jantan dalam pekatnya malam mengelilingi pelosok negeri. Mereka sibuk mengencingi setiap wilayah sebagai simbol kekuasaan. Beberapa ekor kucing berbulu hitam dengan sorot mata kejam sibuk menjilati area sekitar kemaluannya setelah puas mengencingi sebuah tembok tinggi dengan hiasan plakat yang tertulis “tanah milik Negara”, sementara dua ekor kucing berbulu oranye langsung berlari menemui kucing betina bertubuh ‘seksi’ setelah puas mengencingi gerobak sayur yang ditinggalkan pemiliknya di pinggir jalan.

Tepat ketika aku bergidik ngeri melihat kelakuan kucing ‘jadi-jadian’ itu, seekor kucing berbulu oranye⸻yang sepertinya pimpinan kelompok kucing tersebut⸻menyadari keberadaanku. Kucing oranye tersebut cukup menoleh ke belakang sambil mengeong dengan suara melengking seolah aba-aba untuk menyerbuku, lalu disusul tragedi pengejaran.

Aku sebenarnya sangat menyukai kucing, namun bukan kucing ‘jadi-jadian’, sehingga aku segera berlari tak tentu arah saat melihat sekelompok kucing itu mulai mengejarku. Kucing oranye yang memimpin pengejaran kembali mengeong dengan lantang, yang anehnya aku seolah-olah dibuat memahami arti meongan tersebut. Kucing oranye itu sejatinya ingin berkata, “Berhenti, jangan lari. Jadilah seperti kami yang cukup dengan mengencingi sudah bisa menguasai!”

Aku semakin takut dan semakin memacu dengan kencang kakiku yang sudah mulai kelelahan. Setelah lama berlari, kusempatkan untuk menoleh ke belakang. Napasku sudah ngos-ngosan, memaksaku berhenti dan beruntungnya aku sudah tidak lagi melihat sekelompok kucing ‘jadi-jadian’ tersebut.

Kukira aku sudah aman, ternyata dugaanku salah. Sekitar beberapa meter dari tempatku melepas lelah, kulihat segerombol kera dan sekawanan walang sangit. Sama seperti kucing-kucing tadi, mereka juga ‘jadi-jadian’!

***

Sekelompok kera ini tidak sejijik kucing-kucing tadi. Mereka lebih terlihat menggemaskan dengan dasi-dasi merah di dada. Mereka terlihat saling berceloteh tanpa henti dengan kode-kode yang tak bisa kupahami. Di tengah-tengah mereka, terdapat ratusan tumpukan pisang. Aku yakin mereka sedang mengadakan pesta pisang. Mereka sibuk berceloteh sambil mengunyah pisang. Sibuk mengunyah sambil berebut pisang dari temannya lewat tangan dan kaki. Belum habis pisang di mulut, di dua tangan dan dua kaki mereka tetap harus tersedia pisang yang masih utuh.

Sekelompok kera ini masih belum menyadari keberadaanku. Sebelum mereka menyadarinya, aku harus segera pergi dari tempat ini. Rasa lelahku pun perlahan mulai reda. Ketika berbalik ke belakang untuk segera kabur, dari sudut lorong tampak sekawanan walang sangit sedang mendiskusikan tujuan lompatan selanjutnya. Meskipun berukuran kecil, dengan jumlah yang cukup banyak hewan ini terlihat seperti pasukan berkuda yang bersiap menebar racun ke berbagai tempat.

Kini kulihat mereka telah berpindah ke tempat selanjutnya sesuai dengan yang direncanakan. Secara bersamaan mereka menyemprotkan bau busuk di tempat tersebut. Warna hitam samar-samar mengelilingi tempat itu yang menyebarkan aroma busuk di seluruh ruangan. Saking busuknya, aku bisa menciumnya dari jarak yang cukup jauh di tempatku berdiri.

Setelah dirasa sudah sangat busuk, sekawanan walang sangit itu berpindah ke tempat yang lain. Mereka memiliki misi untuk menyebarkan informasi tentang ‘kebusukan’ setiap tempat, padahal faktanya adalah mereka sendiri yang menjadi sumber kebusukan sejati. Tinggal satu tempat lagi yang perlu dikaruniai aroma busuk di lorong tersebut, dan saat itulah mereka menangkap basah diriku yang sedang bersembunyi di balik tong sampah.

Sekelompok walang sangit itu mengalihkan rencananya dari menyebarkan aroma busuk menjadi membungkam mulutku. Mereka memang tidak bisa membunuhku, tetapi mereka bisa menghilangkan ingatanku dengan aroma busuk racunnya. Aku kembali berlari sekencang-kencangnya lagi. Aku tak berani menoleh ke belakang saking takutnya. Aku kelelahan, terduduk, terjatuh, hingga tak sadarkan diri.

***

Cuitan burung membangunkanku yang tak sadarkan diri semalaman di tengah jalanan perkotaan. Bukan terik matahari yang membangunkanku, karena di negeri ini cuitan lebih dihargai daripada pergantian hari. Siang dan malam tidak lebih penting dari cuitan burung berwarna biru.

Aku kembali mengingat  hal terakhir yang terjadi padaku tadi malam sebelum pingsan. Benar sekali, tadi malam aku berlari dari sekawanan walang sangit. Negeri ini kembali sepi di pagi hari. Semua hewan yang kutemui semalam kembali menjadi patung-patung indah.

Aku masih penasaran dengan misteri yang ada di negeri ini. Aku telusuri setiap gedung-gedung tinggi; rumah-rumah megah; hingga yang kutemui tetap saja sama, patung-patung tak bernyawa yang seolah bisa melakukan apa saja.

Matahari tepat di atas kepala. Aku memutuskan berhenti sejenak di sebuah taman. Aku mulai merasa kelaparan dan kehausan, sementara yang kutemui selama di negeri ini hanya patung dan hewan ‘jadi-jadian’. Di sini benar-benar tidak ada makanan maupun minuman yang layak dikonsumsi oleh manusia.

Di negeri ini tak ada air yang jernih. Air di negeri ini berwarna-warni. Ada yang berwarna hitam seperti jus arang, ada yang berwarna cokelat seperti cappuccino, bahkan ada yang berwarna hijau pekat seperti lumut. Aku mulai berpikir bahwa negeri ini adalah surga karena segala jenis minuman yang ada tersedia dalam aliran sungai.

Negeri ini berbeda dengan negeri asalku, meskipun aku merasa menginjak tanah yang sama. Di negeriku, makanan ada di mana-mana. Di antara ranting-ranting pohon, di balik bebatuan sungai, hingga di halaman para tetangga. Sementara di negeri ini, pohon adalah dongeng di dalam buku cerita bergambar; sungai tak lebih dari sekumpulan sampah yang melimpah ruah; dan tetangga adalah makhluk asing dari planet lain⸻semua rumah berjeruji tinggi, bahkan lebih tinggi dari jeruji besi di dalam penjara.

Pagi ini memang tak ada lagi tragedi kejar-kejaran, tapi ada masalah baru lagi yang menghampiri. Aku masih mampu menahan lapar, tapi tidak dengan rasa haus ini.

***

Hujan turun, nyatanya langit jauh lebih berhati nurani daripada penghuni negeri ini.

Sebuah negeri yang hampir mati,

Dengan ratusan penghuni,

Yang tak punya hati.

***

 Surabaya, 13 Oktober 2021

 *Kisah ini terinspirasi dari ungkapan hikmah Syaikh Tajuddin ibn Athoillah dalam karyanya “al-Hikam” yang menyebutkan bahwa semua amal manusia adalah patung, untuk menghidupkannya dibutuhkan ruh yang bernama ikhlas

===

*Tentang penulis

Saat ini penulis menjadi seorang dosen bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya. Karya solonya yang telah diterbitkan adalah buku kumpulan esai dengan judul Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia (2020).

Baru-baru ini ia lolos dalam seleksi terbuka peserta Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (MUNSI) yang ke-3 yang diadakan oleh Balai Bahasa, juga dalam seleksi kurasi masterclass penulisan scenario film yang diadakan oleh Kemenparekraf.

Salah satu cerpennya menjadi juara 2 kategori umum dalam lomba menulis cerita fiksi berlatar sejarah yang diselenggarakan oleh Dinas Kubudayaan dan Pariwisata Jawa Timur. Cerpennya yang lain juga pernah menjadi juara haparan 3 dalam lomba penulisan cerpen Pekan Budaya 2016 oleh HMJ Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang.

Beberapa cerpen juga pernah dimuat di beberapa media cetak seperti Harian Rakyat Sultra, Solo Pos, Bangka Pos, Sinar Indonesia Baru, Radar Mojokerto, Majalah Pewara Dinamuka, dan beberapa media online seperti Ayobandung.com, Himmah Online milik Universitas Islam Malang, Mbludus.com, dan Majalah Pewara Dinamika milik Universitas Negeri Yogyakarta.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *