30 April 2023
Keluarga Bulir Air
Oleh : Gandi Sugandi*
Dua bulir air, Emak dan anaknya, Titis, sedang menunggu giliran keluar dari mata air di tepi hutan dalam perut bumi. Emak masih bisa tetap tenang, tetapi tidak dengan Titis.
Tidak berapa lama kemudian, Emak berkata, “Nah, sekarang lihatlah ke depan, sudah terlihat cahaya, itu pintu keluar. Setelah beberapa gelontor lagi, tentulah bagian kita. Semoga nanti di satu tempat, dapat bertemu kembali dengan bapakmu dan kakakmu yang sudah pergi lebih dulu.”
Emak dan Titis pun pergi, mengalir ke muara anak sungai.
Keduanya berkumpul bersama dengan entah berapa jumlah bulir-bulir air lain, lalu terus mengalir, sampai menggenang di satu tepi anak sungai yang tenang—di pinggir tanah. Titis merasa takut pada keadaan sekitar yang asing.
“Mak, apa itu yang berwarna coklat? Di atasnya juga ditumbuhi sesuatu yang hijau-hijau?”
“Kau sih nakal waktu di dalam rongga bumi. Saat dulu Bapak mengajarkan tentang kehidupan di muka bumi, kau malah malas, tidur terus, tidak seperti kakakmu yang rajin.”
“Ya Mak, maafkan aku. Kalau begitu, sekarang saja diajarkan, ya.”
“Baiklah. Tetapi kau harus cepat mengerti, belajar sembari mengarungi hidup. Dengarkan baik-baik. Itu yang coklat, bernama tanah. Kalau kau ingin tetap menjadi air, jangan dekat-dekat, karena kalau terisap bisa hilang tak terlihat, bersatu dengannya.”
“Kalau yang hijau, kecil-kecil panjang?
“Itu rerumputan, tidak jahat. Tetapi bila kita menitik di atas rumput itu, lalu tergelincir, akhirnya terisap tanah.”
“Terus yang di atas rerumputan, yang besar-besar menjulang, namanya?”
“Itu pohon-pohon, mereka sahabat. Di dalam tanah ada akar-akar pohon, mengikat kita. Banyak air di sana, menjadi tabungan.”
Tiba-tiba sore itu langit meredup. Awan mulai mendung. Tak lama, terdengarlah suara menggelegar.
Titis terkaget, “Apa itu? Juga cahaya putih?” Spontan menggenggam erat tangan Emak.
Tanpa menjawab, Emak menyeret Titis ke satu tepi. “Kita bersembunyi di sini. Ada halilintar. Sebentar lagi hujan lebat turun dari awan. Hujan itu tetesan air—saudara-saudara kita—yang jatuh dari awan, tempat berkumpul uap air.” Emak lalu menunjuk ke atas. “Di atas awan ada langit. Tempat tinggal Yang Maha Kuasa.”
“Yang Maha Kuasa…”
“Ya, Dia-lah yang telah menciptakan kita, bumi dan seisinya, langit dan seisinya. Kita harus selalu patuh dan taat pada-Nya, harus menerima takdir dari-Nya. Ya kita kini berada di satu batang anak sungai. Entahlah esok atau lusa, akan berada di manakah.”
Hujan pun mulai turun. Tetesan-tetesannya mengenai tubuh keduanya.
“Tubuhku terasa ngilu, berbenturan dengan tubuh mereka.”
“Kau akan baik-baik saja. Kan sudah Emak bilang, mereka semua saudara kita.”
Hujan terus membesar. Air di anak sungai bertambah banyak. Mulai meluap.
***
“Kau jangan lepas dari genggamanku. Kita akan mulai mengalir menghilir. Tidak bisa dipastikan di mana nanti kita berhenti.”
Emak dan Titis lalu berangkat bersama dengan entah berapa banyak bulir-bulir air yang lain. Di sepanjang anak sungai ini keduanya terus meluncur, berkali-kali tersendat oleh batu-batu besar yang berserakan. Di depan satu akar pohon mahonilah, Emak dan Titis tersangkut hingga hanya bisa berputar-putar.
Tiba-tiba, aliran air di anak sungai menderas. Emak dan Titis terbawa hanyut. Terus mengalir melewati rimbunan akar-akar bambu, hingga sampai jauh di satu batang sungai. Di satu genangan yang tenang terhalang batu besar, keduanya kembali terhenti hingga hanya bisa kembali berputar-putar, berkumpul—kali ini bersama dengan bulir-bulir air yang baru.
Emak merasa bersyukur karena hujan tiba-tiba berhenti. Emak kelelahan karena tadi tak henti terus terombang-ambing seraya menjaga Titis. Emak bersender pada satu batu hingga tertidur.
Namun Titis ingin tahu banyak hal. Tepat di depannya ada satu saluran air terbuat dari tembok. Maka tanpa setahu Emak, disusurinya, hingga sampai di tepi sawah.
Di bawah pematang, ada pipa paralon berukuran sedang. Didekatinya muka paralon, Titis tergelincir masuk ke dalam paralon, terus terbawa semakin jauh. Dengan sekuat tenaga, Titis mencoba keluar ke arah muka paralon. Apa daya, posisi paralon panjang, menurun cukup curam. Titis terdampar di satu bak mandi di satu rumah.
Saat terbangun, Emak bersedih. Titis tidak ada lagi. “Emak ikhlaskan kau. Bermanfaatlah bagi alam, bagi makhluk hidup lainnya, terlebih lagi manusia.”
***
Malam terlewati, hari menjadi pagi. Seorang manusia memasukkan buntelan ke dalam ember besar. Kemudian bubuk putih sabun cuci ditaburkan. Karet penutup keran dari bambu di bak kamar mandi dibukanya. Air pun mengucur.
Titis merasa takut melihat bulir-bulir air yang lain di bak terus bergerak. Apa daya, dia pun terbawa arus, ikut meluncur, tertampung di ember besar.
Manusia itu lalu mengucek-ucek air hingga menjadi berbusa. Titis merasakan pedih pada seluruh tubuhnya.
Manusia ini pun selesai pula dengan pekerjaannya. Titis menempel pada satu baju kemeja berwarna biru. Manusia ini lalu menjemur pakaian-pakaian yang telah dicucinya.
Saat tengah hari, saat terik matahari, Titis menjerit kepanasan. Tubuhnya pun berubah menjadi uap, hingga terserap naik ke atas langit. Di satu awan, Titis berhenti, berkumpul bersama uap-uap lain.
Pada saat yang bersamaan, Emak kini di permukaan satu batang sungai yang dalam. Emak kemudian menguap, tersedot ke atas langit oleh terik sinar matahari, berkumpul pada satu awan.
Titis tak menyangka karena dapat bertemu kembali dengan Emak di satu awan yang sama. Titis langsung memeluk Emak. Awan yang keduanya diam tiba-tiba bergerak. Terus melaju tertiup angin, hingga beradu dengan awan lain dan terdengarlah suara menggelegar.
Seraya berpegangan, Emak dan Titis yang sudah menjadi tetes hujan pun turun ke bumi. Keduanya mendarat di satu tajuk pohon, lalu tergelincir, turun dari daun ke daun, lalu pada ranting pada dahan pada batang, hingga berdiam di dekat akar. Pada akhirnya, meresap masuk ke dalam tanah.
Keduanya terus meresap, hingga tiba di satu rongga di dalam tanah. “Mak, apakah ini tempat yang dahulu?”
“Bukan, Emak pun tidak tahu di mana sekarang.”
Titis lalu berteriak gembira. “Bapak! Kakak! Kita berkumpul lagi.” Bapak dan Kakak tersenyum.
Bapak yang jarang bicara namun bijak, kali ini nimbrung. “Ya Nak, dan semoga nanti bila hujan sedang deras-derasnya turun, ada tempat tampung yang memadai untuk kita dan juga mereka sekumpulan keluarga-keluarga besar bulir air, sehingga kita tidak menjadi bah.”
***
Bandung, November 2022
===
*Gandi Sugandi. Penulis alumnus Sastra Indonesia Unpad tahun 2000. Saat ini bekerja di Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan.