28 Mei 2023
AKU SAJA YANG GILA
Oleh Sahari Nor Wakhid*
Aku telah dianggap gila. Setidaknya, begitu menurut temanku. Aku sendiri juga heran mengapa bisa demikian. Aku sadar bahwa ada bagian yang tak bisa lagi kukendalikan. Kewarasan nalarku terasa digerogoti perlahan oleh keadaan. Serupa terperangkap dalam gelap tanpa seberkas cahaya.
Butiran air hujan di luar memukuli atap seng. Menciptakan paduan suara riuh. Memang, bangunan sekolah ini semuanya beratap seng. Itu sudah standar dari perusahaan dan yayasan yang membuat sekolah ini. Tapi suara riuh hujan seakan tak terdengar di kupingku. Lebih riuh suara dalam pikiranku.
Seperti orang gila. Entah sudah berapa lama aku terpaku di depan laptop yang menampilkan logo windows 10. Ketika layarnya padam, kuaktifkan lagi melalui touchpad. Begitu kulakukan berulang-ulang.
“Mau sampai kapan kamu begitu, Sifa?” tanya Rama, teman curhatku.
“Aku juga tidak tahu, Ram.”
“Kamu harus berani, dong! Jangan mau ditindas terus!”
“Aku belum bisa menentukan sikap.”
“Haruslah. Penting itu. Kasihani dirimu. Semangat terus pokoknya. Aku masuk kelas dulu, ya!”
Begitulah nasihat Rama di depan meja kerjaku yang justru membuatku semakin limbung. Rama adalah lelaki yang cukup lama kukenal. Selain sebagai rekan kerja, ia juga selalu nyaman diajak bicara. Pandai menyimpan rahasia. Tak berubah sedikit pun sifat baiknya, dari sebelum menikah hingga sekarang sudah memiliki dua orang anak.
Rama juga mengenal baik sifat suamiku. Tak jarang aku meminta pendapatnya. Terkadang, aku memintanya untuk sekadar memberitahu atau meluruskan pemahaman suamiku. Rama telah dianggap kompeten oleh suamiku. Sering juga ia dimintai pertimbangan mengenai kebijakan sekolah. Suara Rama lebih didengar daripada aku. Tapi, nasihat Rama kali ini belum bisa kuikuti.
Siang ini, suasana ruang guru setelah jam istrihat terasa sungguh menyesakkan. Kebetulan aku sedang tidak ada jam mengajar. Duduk terpaku di meja kerja. Pikiranku dipenuhi bayangan seorang wanita yang kerap diidamkan oleh suamiku. Aku selalu dibandingkan dengannya. Aku dituntut menjadi sepertinya. Gila.
“Coba kalau berdandan itu seperti Dila agar menunjukkan kesan wibawanya sebagai istri kepala sekolah,” ucap suamiku suatu waktu.
Aku hanya bisa merengut. Menahan kecamuk perasaan. Sebagai istri yang harus membesarkan tiga orang anak, tak pernah alpa tugasku melayani suami. Membersihkan rumah, memasak, mencuci, dan segala pekerjaan rumah lainnya kukerjakan. Belum lagi tanggung jawabku sebagai seorang guru.
Suamiku begitu tersihir dengan paras cantik Dila. Postur tubuh tinggi semampai dengan liuk lekuk tubuh yang merampok setiap pasang mata lelaki. Banyak lebihnya dibandingkan postur tubuhku yang tidak ideal. Tinggi badanku di bawah rata-rata. Dalam bahasa sarkastis, biasa disebut pendek. Aku insaf bahwa tak mungkin bisa menyamai Dila. Tampilan fisik sudah menjadi ketetapan Tuhan.
Aku dan Dila memang satu kantor. Berstatus sama sebagai guru di sekolah swasta. Dila sudah bersuami dan memiliki anak. Ironisnya, status itu tak menjadikannya berhenti tebar pesona. Memang, itu urusan pribadi. Dila boleh saja begitu. Dila layak begitu karena memang sesuai dengan parasnya. Aku bukan iri. Tapi, perangai suamiku saja yang kusesalkan.
Mengapa harus memuji wanita lain di hadapan istri sendiri? Apa aku kurang bisa memuaskan? Apa memang rumput tetangga selalu lebih hijau sehingga lupa dengan rumput sendiri?
Begitu penuh sesak pikiranku dengan keadaan ini. Aku tak berani menentang suamiku. Aku takut dia marah. Aku takut dia meninggalkanku. Aku juga tak berani menegur Dila , karena Dila juga tidak salah. Sesuka hatinya orang mau berdandan dan bergaya. Tapi, sikap suamiku terhadap Dila itu yang membuatku prihatin.
Seperti pagi tadi, ketika baru sampai sekolah, suamiku tak lupa memberikan sanjungannya pada Dila. Ia berujar, “Wah, Ibu cantik sekali hari ini!”
“Ah, Bapak bisa aja!” balas Dila sembari menyunggingkan senyum manis.
Jika hal itu terjadi sekali, masih lumrah. Kalau berkali-kali, mendengarnya saja serasa mau muntah. Tapi, tidak bagi Dila. Hal itu justru membuatnya besar kepala. Ia bertambah menor tampilannya dari hari ke hari. Seakan disengaja hanya untuk mendapatkan pujian dari suamiku yang sekaligus atasannya. Saat berjalan, ia melenggokkan badannya bak peragawati yang berada di catwalk. Karena itu, aku menyebutnya sebagai ulat bulu. Gila.
Dalam pandangan umum, tentu saja aku tidak gila. Bagaimana seorang gila bisa berstatus sebagai guru, bahkan istri kepala sekolah. Tidak mungkin juga seorang gila masih dipercaya mengajar muridnya.
Rama yang sudah kembali dari mengajar menghampiriku. Aku tetap terpaku di meja kerja.
“Aku tidak siap melepasnya, Ram. Bagaimana nasib anak-anakku nanti? Aku tidak bisa membesarkan mereka sendiri.”
“Itu hanya sebagai ketegasan saja. Maksud sebenarnya tentu agar suamimu sadar.”
“Kalau benar terjadi, aku takut. Memang, ini fase kesedihanku sepeninggal ayahku. Aku sudah tidak memiliki orang tua lagi. Suamiku adalah harapanku sekarang, Ram.”
“Tapi, tidak bisa kamu teraniaya terus, Sifa!”
“Aku juga bingung, Ram. Kalau nadaku agak tinggi saja, dia malah marah-marah. Main lempar barang-barang.”
“Kamu balas lempar saja.”
“Berhamburan, dong!”
“Biar saja. Nanti suamimu yang bereskan.”
“Enggak bakalan.”
“Kamu tinggal pergi dulu biar dia merasa.”
“Enggak bisa.”
“Terus maumu, gimana?”
“Lha, aku juga belum tahu.”
“Tidak ada jaminan juga hanya ada Dila. Kamu tahu sendiri, kan, suamimu kalau bicara dengan wanita, bagaimana? Penuh sanjungan. Manis. Membuat lawan bicara mudah jatuh hati.”
“Itu juga yang kutakutkan.”
“Makanya ketegasanmu diperlukan supaya membuatnya jera.”
“Enggak tahu, Ram. Aku hanya bisa mendoakan saja.”
“Berdoa tanpa berbuat tidak mengubah apa-apa, Sifa.”
“Ya. Tapi, aku juga tidak tahu harus gimana. Mungkin, kujalani saja dulu.”
“Gila kamu. Ya, sudah, kalau itu keputusanmu. Aku tidak bisa memaksa. Aku ikut mendoakan juga, deh! Pokoknya, kamu sabar dan semangat!”
Tak terasa butiran air meleleh membasahi pipiku. Aku berucap pada Rama, “Terima kasih, ya, sudah mau mendengarkan!”
“Santai saja. Aku siap kapan pun dibutuhkan jadi pendengar setiamu. Kamu luar biasa bisa menjalani ini. Belum tentu wanita lain sanggup.”
“Makanya, aku saja yang gila. Istrimu enggak akan kuat,” candaku mengusir kesedihan meski susah kututupi.
“Ah, kamu. Bisa saja. Ya, sudah. Aku pulang dulu!”
Rama pun berlalu. Aku tetap menjalani keadaanku. Seolah tidak terjadi apa-apa.
Hari kian sore. Suamiku tetiba menghampiri. Mengajak untuk pulang dan menjemput anak yang sedari pagi sudah dititipkan. Di atas motor, aku diboncengnya. Membonceng wanita gila.
==
*Sahari Nor Wakhid, Guru SMP Negeri 5 Sangatta Utara, Kutai Timur. Telah menerbitkan 3 buku tunggal dan 17 antologi bersama. Buku paling mutakhirnya adalah Lidah Api (Kumpulan Puisi, 2023). Bisa dikontak melalui IG @saharienwe.