LiteraSIP

28 Mei 2023

Puisi-Puisi Tjahjono Widarmanto

Oleh Tjahjono Widarmanto*

 

 

KAU ADALAH HARI LAIN

Hari-hari beringsut menuju lelap yang lelah
detik-detiknya gagal menemukanmu

: Mungkin kau ada di hari lain
  sembunyi di kerimbunan bilangan-bilangan keramat!

Jejakmu ada di mana-mana
menggenangi setiap lekuk ruang
namun waktu mengaburkanmu
seperti rumah-rumah kosong
di gang-gang lengang

Kalender-kalender gagal menemukanmu
kau telah menjadi hari lain
Hari lain yang seperti kabut sibuk
lantas lenyap di tikungan jalan dan deret pepohonan

Di rimbun mana lagi kuhirup aromamu?
tuntas kutelusuri jam-jam yang memberi
tanda dan tafsir-tafsir.
Semuanya hanya menjanjikan tanda tanya sekaligus tanda seru.

Jendela-jendela tahun menyibak
namun kau seperti bahasa
yang menutup pintunya rapat-rapat
pada segala bunyi dan makna.

 

SECANGKIR KOPI DAN KENANGAN YANG MELAPUK

 /1/
perbincangan ini sia-sia
seperti api bergegas mengabukan dedaunan kering
batang-batang pohon pun turut menjadi arang
dan udara menggigil di tengah bara
: isyarat yang percuma!

/2/
aku duduk sendiri di serambi
termangu lusuh ditinggal oleh bahasa
sedangkan kau, di bilik lain
tanpa jendela menyumpahi dunia
yang menyerpih tanpa suara

udara lalu-lalang
kalimat-kalimat bergumam sendiri
tanpa makna diabai bunyi
waktu telah lama beku
persis secangkir kopi larut dalam dingin
jari-jari kita bergetar menghitung
angka-angka pada kenangan yang melapuk

/3/
di bilik lain suram tanpa jendela
kau menerka malam yang melengkung
di antara pekat di kedua alismu
tak ada cahaya
hanya bunyi desir merambati
ingatan pada kenangan yang lapuk
lantas dijarah rayap dan rengat

/4/
dingin telah menumpas tuntas
riwayat kopi di cangkir itu
aku dan kau seperti kaca
buram retak karena dingin
suara-suara lirih bergaung
dan berdentangan di pusar kebisuan
ingatan kami lumpuh seperti api dan daun kering
sekejap serentak jadi abu
: gagal meronce kenangan!

 

KITA: BERHALA-BERHALA REMUK

 (1)
tak lagi siang tak lagi malam
warna-warna tak lagi pekat atau cemerlang
laut-laut mendaki gigir tebing
gunung-gunung memburu ombak dan pesisir
di setiap celah karang kepiting-kepiting silau
di setiap pokok pohon kadal-kadal lumpuh
kambing-kambing liar di padang rumput
menjelma gerombolan batu

: kita adalah berhala-berhala remuk
digerogoti musim, dikerat hari
menjadi sekedar bayang-bayang di antara puing.

di puncak-puncak lingga dan menhir
anak-anak meraung sambil menghisap asap
belukar. asap kayu. asap embun. asap kata-kata

: Gusti, di manakah segala juru tafsir itu?
  lihatlah,ibu bapa kita cuma berhala yang keropos!

(2)
tak ada bintang. tak ada komet. tak ada pekat
bahasa meledak dan muncrat dalam serapah

: aduhai, di manakah gerangan bisa digali lagi kedalaman kata?

 di antara puing, tangan-tangan kita memanjang
menjuluri apa saja namun yang teraba
tak menemu puisi apalagi firman suci
hanya abjad-abjad nama sendiri
terpahat beku pada nisan-nisan.

(3)
di kedalaman lembah, gadis-gadis tengadah
meratapi perawannya yang beringsut menuju ceruk senja kala

bayang-bayang menyembul dan menyelimuti
jalanan-jalanan basah yang telah jadi sarang gerombolan hantu
menyusuri puing-puing, menatap bulu-bulu mata yang basah
diremas-remas putus asa berserak di reruntuhan kota di antara lubang-lubang galian

(4)
bayang-bayang mengeriap di antara puing
lantas mengeriput mengkerut seperti mumi!

 

KERUMUNAN GAGAK

 Langit retak oleh kerumunan gagak
jejaknya hitam menggarit muka langit

Hamburan burung-burung gagak
seperti derap pasukan malaikat maut
bersepatu lars dan bermantel merah
ayun-ayunkan cemeti api
juntai cemetinya menyabet menyobek punggungku

Kerumunan gagak berpusing seperti puting beliung
dengan bola-bola hitam menerbangkan batu, kayu, dan lempung
menerjang dan berpusing di kamar-kamar hotel, rumah ibadah, gedung parlemen,
plaza pun makam-makam tua yang tambah mengerucut

Kerumunan gagak hilir mudik
berkelebat di mana-mana, mencungul di setiap sudut
seperti hantu memburu kaum sufi
merampas sabda-sabda keramat
memberangus firman-firman suci.

Kusaksikan kerumunan burung gagak melengkung hitam di langit
kusaksikan manusia-manusia merayap lantas tersuruk dalam liang tanpa cahaya!

                       

BUKU HARIAN INI MASIH MENCATAT PELAJARAN YANG SAMA

Buku harian ini masih mencatat pelajaran yang sama:
cinta merintih-rintih, kesetiaan bagai kafan, usia diburu ajal,
nafas birahi melenguh-lenguh, sabda-sabda yang silang sengkarut
semuanya berkelindan dalam tempurung labirin waktu
tiada akhir.mengalir tak menemu muara.abai pada hilir

Kata-kata mencatatnya dengan murung dan nista
: duh, alangkah anggunnya muslihat dan nestapa!

 Jarum arloji tak henti-hentinya mendorong waktu melaju
tik taknya menjadi jarak tak terbaca
menjadi sejarah melesat dan lesap
dalam dingin yang getas dan rapuh.

 

==

*Tjahjono Widarmanto. Tinggal di Ngawi. Buku puisinya antara lain: Suluk Pagracutan dari Kampung Para Arwah (2023), Qasidah Langit, Qasidah Bumi (2023), Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (2018), Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak (2016) dan Kitab Ibu dan Kisah Hujan (2019)

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *