LiteraSIP

7 Mei 2023

Boneka-Boneka Raja, Raja-Raja Boneka

Oleh : Era Ari Astanto*

 

 

Ketika masih bocah, setiap kali bermain, kita sering berdebat hanya untuk menentukan sebutan manakah yang benar antara boneka-boneka raja atau raja-raja boneka. Tidak pernah ada kata sepakat. Selalu begitu.

Namun, kita akan dengan sendirinya berhenti mendebatkan hal itu. Bermain boneka-boneka berbentuk raja atau raja-raja berbentuk boneka lebih menyenangkan daripada berdebat soal sebutan. Mungkin kau berpikir begitu pula. Tapi, kita akan mengulangi debat serupa saat bermain di lain waktu.

Selalu begitu. Sampai saat ini, kita berdebat lagi setelah lebih dari dua puluh tahun tak melakukannya karena ruang dan waktu menjauhkan kita. Perdebatan yang seolah terjadi begitu saja setelah membincangkan banyak hal.

“Yang benar adalah boneka-boneka raja,” katamu.

“Raja-raja boneka, itulah yang benar,” bantahku.

“Boneka-boneka raja.”

“Raja-raja boneka.”

“Boneka dulu baru raja.”

“Raja dulu baru boneka.”

“Boneka dulu.”

“Raja dulu.”

“Boneka.”

“Raja.”

Kita diam, tapi tatapan mata kita tak berhenti mendebatkannya. Beberapa waktu kemudian kita tersenyum. Tersenyum atas kelakuan kita.

“Mau berdebat lagi?” tanyamu, disusul senyum manismu.

“Tentu saja. Hidup ini pun pada dasarnya adalah perdebatan. Tidak hanya dengan orang lain, tetapi bahkan teramat sering terjadi perdebatan dengan diri kita sendiri. Bagaimana?”

Kau mengangguk-angguk. “Aku bisa seratus persen setuju, tapi tergantung alasan bagaimana kau memutuskan kata raja mendahului boneka?”

“Kok ke situ lagi?”

“Menguji pendapatmu bahwa hidup pada dasarnya adalah perdebatan,” katamu, sambil menaikkan alismu yang tebal alami.

“Jika alasanku bagus, artinya kau akan meninggalkan istilah boneka-boneka raja?”

“Dan mengikuti istilah raja-raja boneka? Oh, soal itu nanti dulu. Bisa saja alasanku lebih bagus, dan kaulah yang harus mengikutiku.”

“Baik. Kita berjanji soal ini?”

“Aku janji.”

Kita membuat perjanjian. Lalu aku tuturkan alasanku yang kutemukan seiring perjalanan hidupku. Aku akui ketika masih bocah tidak memiliki alasan yang baik tentang “raja-raja boneka”. Kecuali keinginanku yang sekadar karena tidak mau sama denganmu, dan anggapan bahwa aku lebih baik darimu. Aku sempat melupakan istilah itu, atau lebih tepatnya tidak peduli, sejak orang tuaku harus pindah ke sebuah kota di ujung lain pulau.

Bertahun-tahun istilah itu terkubur, tapi kemudian bangkit justru ketika keluargaku terpuruk, beberapa waktu setelah tragedi Mei 98. Dan istilah itu seolah memaksaku untuk memikirkan susunan manakah yang benar: apakah raja dulu baru boneka atau sebaliknya.

Kau tentu sudah tahu bahwa orang tuaku mencari penghidupan dengan berdagang. Hanya pedagang kecil yang sulit menjadi besar jika tetap bertahan di kota kecil kita itu. Pedagang mana yang ingin tetap menjadi pedagang kecil dengan keuntungan kecil dan kadang tak berdaya dipermainkan pedagang besar. Itu salah satu alasan orang tuaku pindah ke kota di ujung lain pulau ini, yang konon bidang bisnis barang dagangan yang digeluti orang tuaku cukup menjanjikan.

Tapi, apa yang terjadi kemudian di luar ekspektasi orang tuaku. Bukan karena kalah bermain, tapi sistem birokrasi yang seolah tanpa ada pengawasan dari pihak berwenang serasa sering kali menghajar kami. Jatuh bangun orang tuaku bertahan, hingga akhirnya benar-benar tersungkur dan kesulitan untuk bangun lagi. Benar-benar terpuruk dan terancam menjadi gembel, padahal ayah dan ibuku sudah sedemikian tua dan tidak lagi memiliki banyak keringat untuk diperas dan tulang-tulangnya sudah cukup rapuh untuk dibanting.

Aku yang sudah dewasa saat itu, bisa merasakan betapa terpuruknya kami. Aku harus mengambil alih kemudi. Aku ajak orang tuaku berdikusi, mencari penyebab kesulitan ini. Akhirnya, aku menyimpulkan bahwa perdagangan bukan hanya sekadar jual-beli atau tawar-menawar, melainkan juga harus pandai bermain dan memiliki pelindung yang berkekuatan raksasa. Aku bertekad harus menjadi raja meski dipandang sebagai boneka. Kujadikan istilah “raja-raja boneka” sebagai filosofi yang menguatkan perjuangan bisnisku, tidak perlu menjadi penguasa karena sebenarnya aku telah merajai mereka.

Bukan pekerjaan mudah untuk mendapatkan hal itu, tapi aku berhasil melakukannya —menjadi raja yang menyamar sebagai boneka. Awalnya sebagai raja boneka lokal, dan perlahan jalan demi jalan seolah terbentang dan mengantarkan kami menuju jaringan-jaringan yang lebih besar dan kuat. Oleh sistem itu kami seolah boneka yang bisa dimainkan, tapi sistem itulah yang sebenarnya boneka bagi kami.

“Begitulah penjelasanku. Jadi, menurutku yang benar adalah raja-raja boneka.”

Kau tertawa mendengar uraianku.

“Kenapa?”

“Jangan-jangan kau dan orang-orang sepertimu adalah boneka orang-orang sepertiku?”

“Maksudmu?”

“Dekatkan telingamu.”

Sepertinya sesuatu yang teramat rahasia. Aku mendekatkan kepalaku. Dan dia membisikkan sesuatu tentang siapa dirinya sekarang.

Dahiku mengernyit tak percaya. “Bagaimana mungkin? Kau tidak punya pangkat apa pun untuk itu.”

“Ayah yang mewariskannya padaku. Orang-orang seperti kami di hadapan sistem memang layaknya boneka bagi raja. Tapi, merekalah yang sebenarnya boneka. Jadi, menurutku yang pas adalah boneka-boneka raja. Bagaimana?”

Aku berpikir sejenak, “Tidak. Yang pas adalah raja-raja boneka.”

“Dasar keras kepala.”

“Jika tidak keras kepala, mungkin aku sudah menjadi gembel sejak bisnis ayahku tersungkur.”

“Tanpa perlindungan orang seperti kami, orang sepertimu pasti selalu kalah.”

“Tanpa orang seperti kami, orang sepertimu tak mungkin makan dengan layak.”

Kau tertawa.

Aku ikut tertawa.

“Jadi, kau tetap tidak mengikuti istilahku?”

“Itu soal mudah, tapi ada syaratnya.”

“Ada syaratnya segala? Memang apa syaratnya?”

“Menikahlah denganku.”

Kau terdiam, tapi tatapmu tajam menusuk mataku.

“Mengapa kita harus berdebat dulu?” katamu bergetar.

“Jelasnya?”

“Kuharap kau bersungguh-sungguh dengan katamu tadi.”

 

==

Tentang Penulis

*Era Ari Astanto penyuka bika ambon ini lahir di Boyolali. Saat ini bekerja di sebuah penerbitan buku pelajaran di Solo dan aktif di komunitas Sastra Alit. Karya tunggal yang sudah diterbitkan adalah Novel berjudul Jika sang Ahmad tanpa Mim Memilih (Najah, 2013), The Artcult of Love (Locita, 2014), Novel Bertutur Sang Gatholoco (Basabasi, 2018), Novel Riwayat Bangsat (Basabasi, 2019). Karya antologi: Memoar Bermasjid (Diomedia, 2017), kumcer Masa Depan Negara Masa Depan (Surya Pustaka Ilmu, 2019), Memoar Ramadhan dan Merantau (Diomedia, 2019), kumcer Hanya Cinta yang Kita Punya untuk Mengatasi Segalanya (Divapress, 2020). Cerpen-cerpennya juga tayang di beberapa media online. Buku terbarunya yang terbit: Novel dwilogi Nama yang Menggetarkan (Diomedia, 2020).

 

 

2 thoughts on “Boneka-Boneka Raja, Raja-Raja Boneka”

  1. Pingback: Ruang LiteraSIP Edisi #17 - SIP Publishing

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *