LiteraSIP

5 Februari 2023

Pergi dalam Sunyi dengan Setitik Nyala Api

Oleh Mahrus Prihany*

 

Kabar kematian Pak Kirno sebenarnya biasa saja bagiku, tapi yang membuatku sangat terkejut adalah pesan terakhir lelaki berusia enam puluh lima tahun  itu yang ditujukan padaku melalui adikku. Sungguh aneh, dan aku mau tak mau memikirkan pesan itu.

Pagi-pagi, adik bungsuku menelepon dari kampung. Pak Kirno tetanggaku telah tiada. Dini, adikku, bercerita bahwa Pak Kirno sebenarnya sakit demam biasa pada awalnya. Namun beberapa hari demam itu tak kunjung sembuh dan lelaki yang tinggal hanya dengan istrinya tersebut menolak dibawa ke dokter. Ini memang kebiasaan warga kampung kami, malas berobat, menganggap sakit atau demam adalah hal biasa yang nanti akan bisa sembuh dengan sendirinya. Jika memang harus berobat, biasanya warga kampung hanya cukup membeli obat demam atau panas di warung.

Boleh dibilang aku sebenarnya tak terlalu dekat juga dengan lelaki itu. Sejak lulus SD, aku telah meninggalkan kampung. Aku menyelesaikan SMP, SMA, dan perguruan tinggi di pulau seberang. Ayahku sangat berharap aku bisa menjadi orang sukses, tidak menjadi petani kopi seperti mereka. Apa yang menjadi harapan orangtuaku bisa dikatakan terwujud. Aku adalah satu-satunya orang yang memiliki gelar sarjana di kampungku dan kini cukup sukses menjadi seorang pekerja kantoran di kota megapolitan.

Praktis, aku jarang bertemu Pak Kirno, hanya saat mudik sewaktu lebaran saja aku bertemu dan berbincang cukup lama dengannya. Ya, hanya satu tahun sekali selama berpuluh-puluh tahun lelaki itu bisa banyak berbincang denganku. Parahnya lagi, sering ia yang menghampiriku, datang ke rumah orangtuaku untuk sengaja menemuiku jika ia mendengar aku sedang mudik. Kini, setelah aku mendengar kabar kepergiannya, sungguh aku baru memikirkan dirinya, terlebih setelah aku mendengar cerita adikku yang mengabarkan pesan terakhirnya padaku.

***

Kampungku adalah kampung kecil yang terletak di pedalaman. Hanya ada satu sekolah dasar yang jumlah muridnya pun hanya beberapa orang. Kantor kecamatan jaraknya sekitar lima belas kilometer. Kota kabupaten jaraknya lebih dari empat puluh kilometer. Jangan membayangkan bagaimana kami mendapat pelajaran di sekolah. Bagi para orangtua, anak-anak sudah mau pergi ke sekolah saja, itu suatu hal yang luar biasa. Bagaimana tidak, saat musim kopi tiba, banyak anak pergi ke kebun ikut memutil kopi. Setelah lulus SD, jarang ada anak mau melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Mereka lebih baik menggarap kebun dan tak lama kemudian menikah.

Pak Kirno mungkin adalah sosok yang sungguh berbeda dari orang-orang kampung kami meski bukan seorang guru atau orang berpendidikan tinggi. Menurut cerita ayahku, ia dulu sempat menamatkan pendidikan SMP di pulau seberang. Ia kemudian merantau ke kampung kami dan menikah dengan warga desa kami.

Pak Kirno senang sekali mendengarkan radio dan ia selalu membawa ke mana-mana radio itu bersamanya, dia kalungkan radio itu di lehernya. Ia senang sekali mendengarkan berita dari radio tersebut, terlebih siaran BBC London. Orang-orang kampung kami sebenarnya banyak juga yang memiliki radio, ayahku juga punya. Namun mereka lebih senang mendengarkan lagu-lagu melayu yang sering diputar, atau mendengarkan siaran sandiwara radio yang memang populer kala itu. Saat siaran berita disiarkan banyak orang mematikan radio mereka, tentu sayang akan baterai radio yang bisa cepat habis.

Pak Kirno senang juga membaca berita dari koran. Saat ia atau istrinya tak pergi ke pasar pada hari Sabtu, ia akan meminta warga lain yang akan pergi ke pasar membelikan koran untuknya. Meski itu koran bekas, namun beritanya juga tak tertinggal jauh-jauh amat. Biasanya koran itu adalah koran edisi beberapa hari atau satu minggu sebelumnya.

Hal lain yang kuingat, setiap hari Minggu, Pak Kirno pergi ke kota kecamatan. Bayangkan, ia berjalan kaki pergi ke sana. Di kampung kami tak ada angkutan umum atau warga yang memiliki mobil ketika itu. Orang-orang jika pergi ke pasar biasanya mengendarai sepeda motor gunung, dan hanya ada beberapa penduduk yang memilikinya. Ia pergi ke kantor kecamatan hanya untuk bisa membaca koran yang ditempel di papan lebar yang dilapisi kaca di depan kantor kecamatan.

Setelah ia puas membaca, Pak Kirno juga membeli koran yang berbeda dengan yang ditempel di papan. Ia pulang kampung pada sore harinya lalu bercerita pada warga kampung tentang berita terbaru. Aku tahu warga kampung tak tertarik kecuali sekadar asal mendengarkan saja, hanya aku yang kadang pura-pura serius mendengar dan menanggapi omongannya untuk sekadar menunjukkan rasa hormat.

Pada kesempatan di mana orang-orang berkumpul; di pos ronda, di acara kenduri atau hajatan warga, dan di masjid, Pak Kirno juga akan berbicara isu dan kabar terkini yang terjadi di negeri kita atau belahan bumi lain. Ia menjelma seolah pengamat politik, ekonomi, atau pendidikan.

“Harga kopi naik tidak, Pak Kirno?” Sesekali warga seperti Mang Sirin bertanya. Pak Kirno akan menanggapinya dengan serius.

***

“Dulu, Pak Kirno yang sering mendorong ayahmu untuk menyekolahkanmu sampai sarjana di kota,” ujar ibuku. Ayah memang ingin menyekolahkanku di luar daerah meski itu sebenarnya berat juga bagi ayahku. Namun cerita ibu, Pak Kirno sering menguatkan ayah agar aku berhasil dalam pendidikan.

“Mas Han itu anak yang cerdas. Ia pasti bisa berhasil,” lanjut ibuku menirukan ucapan Pak Kirno pada ayah.

Ternyata Pak Kirno memang memiliki perhatian yang besar padaku selama ini. Ia sering bertanya tentangku sejak aku meninggalkan kampung untuk belajar dan akhirnya bekerja di kota. Aku tak menyangka jika ia juga sering menyemangati ayah saat keluargaku pernah mengalami gagal panen atau harga kopi sedang anjlok dan mengalami masa paceklik hingga ayah pernah memiliki keinginan agar aku berhenti kuliah.

Pak Kirno berusaha keras meyakinkan ayah dan aku tak pernah tahu hal itu karena ayah dan ibu memang menyembunyikan semua dariku. Selama belajar dan kuliah, aku memang tak pernah mengalami masalah, itu karena ayah dan ibu tak ingin aku memikirkan masalah biaya sehingga seolah tak pernah terjadi apa-apa di rumah. Aku akhirnya memang memutuskan pulang, mengambil cuti beberapa hari, ikut berdoa untuk Pak Kirno pada hari ketujuh kepergiannya.

“Ini pesan terakhirku, sampaikan pada kakakmu Mas Han untuk mendirikan taman baca di kampung kita agar anak-anak kampung bisa menjadi pandai dan berhasil sepertinya. Jika Mas Han yang bicara pasti orang kampung akan mendengarkannya.”

Dalam keyakinan Pak Kirno pula, aku bisa menjadi inspirator dan motivator bagi generasi muda dan para orang tua karena ia tahu persis tentangku. Sungguh ia memang penuh perhatian dan kesungguhan pada ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kemajuan warga kampung.

***

*Mahrus Prihany, lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Meluluskan studi di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO) dan jurusan Komunikasi Penyiaran Islam STAI Publisistik Thawalib, Jakarta. Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI), kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), dan sebagai Redpel di portal sastra Litera.co.id. Karyanya tersiar di sejumlah media massa

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *